Selasa, 15 Februari 2011

OTOBIOGRAFI NINIK BUSTAMI BIN RAJA ADIL BIN SUTAN ADIL DARI TARUNG TARUNG RAO


Sejarah Ninik

Almarhum Ninik Bustami bin Raja Adil gelar Raja Manuncang bin Sutan Adil Gelar Sutan Sulaiman, lahir di Rao pada tanggal 9 April 1909, Beragama Islam dan menyelesaikan H.I.S, Kweekschool di Bukit Tinggi. Menikah dengan Almarhumah Nurma Dahniar binti Aminullah gelar Sutan Kumalo, lahir di Rao pada tanggal 16 Mei 1919. Dari Perkawinan tersebut diperoleh 3 orang putri, yang pertama Hj. Gustina Emmy, lahir di Binjai, tanggal 16 Juni 1939, kedua Hj. Ashma Farida, lahir di Binjai, tanggal 29 Maret 1941, dan ketiga Hj. Ida Fathma, lahir di Binjai, tanggal 28 Maret 1943. 

Ninik Bustami memulai kariernya di tahun 1930 sebagai Krani di United States Rubber Plantations, Inc. Bunut, Kisaran, kemudian sebagai kepala HIS Partikelir di Binjai tahun 1931 sampai 1939, selanjutnya bersama Almarhum Amir Hamzah selaku sahabatnya mereka membuka sekolah di Selesai Langkat (Schoolopzeiner/Volks-school No.2) pada tahun 1940 sampai dengan 1942.
Terjadinya perperangan di tanah air, tahun 1945, Ninik kembali ke Rao, dan menjadi Wali Negeri Rao di tahun 1945 sampai dengan tahun 1949, setelah melepaskan tanggungjawab sebagai Wali Negeri, Ninik melakoni hidup menjadi Intelligent merangkap Kepala Perbekalan Staff ke Sumatera yang berkedudukan di Rao, hal ini dilakoni Ninik sejak tahun 1949 sampai dengan 1950. Kemudian Ninik diangkat menjadi Anggota Executive Dewan Pemerintahan Wilayah (DPW) Rao, di tahun 1950-1951, kemudian hijrah ke Medan dan menjadi Komis pada Dinas Penyempurnaan Pengetahuan dan Keahlian (DPPU) TT-I di Medan, tahun 1951. Selanjutnya diangkat dan diberi kepangkatan oleh Tentara Republik Indonesia sebagai Pembantu Letnan, dan sebagai Kepala Biro Pendidikan DPPK TT-I Medan, tahun 1951-1952, kemudian menjadi Perwira DPPK-KMKB Medan, tahun 1952-1953. Selanjutnya sebagai kepala biro pendidikan LPPU-TT I Medan, tahun 1953-1956. Di tahun 1956 sampai 1959 kepangkatan Ninik dinaikkan menjadi Letnan II, kemudian tahun 1959 – 1960 menjadi Perwira DPPU-MKB Medan. Tahun 1966 pensiun dari TNI, dan sebelumnya sejak tahun 1962 sampai dengan 1970 bekerja di Ex N.V. Deli Spoorweg Maatschappij di Medan.

Ninik wafat pada tanggal 13 Januari 1990, di Medan, dimakamkan di perkuburan Muslim Sei Batugingging Medan. Dan Uci Nurma Dahniar, wafat di Bukit Tinggi pada tahun 1948, meninggal di Rumah Sakit Umum Bukit Tinggi. Dan dikebumikan di perkuburan Muslim Bukit Apik Bukit Tinggi.

Sejarah Rao Yang Dikaburkan

Ninik menguasai dua bahasa secara baik, yaitu bahasa Inggris dan bahasa Belanda, bidang pengetahuan yang dikuasai ninik adalah bidang Geografi. Prestasi Ninik di tahun 1940 an mendirikan ‘Tonil’ (group panggung sandiwara), yang menampilkan cerita-cerita rakyat, terutama tentang perjuangan pasukan Paderi, dengan pimpinan panglima Tuanku Rao, hal ini sengaja di kedepan ninik saat itu dalam upaya mengembalikan semangat dan kepercayaan masyarakat Rao terhadap kepribadiannya. Panggung Sandiwara ini sekaligus menjadi media kapampanye Ninik dalam melawan segala bentuk penjajahan di tanah Rao. Kepada kami, beliau pernah menyampaikan kritikan dan ketidak setujuannya terhadap tulisan dan pandangan Buku karya MO Parlindungan terhadap Tuanku Rao. Menurut beliau banyak kesalahan didalamnya dan berbahaya bagi sejarah, tentunya bahaya bagi generasi penurus Rao kedepannya. 

Karena ketidak puasan beliau maka, beliau berhasil membuat buku, dengan tulisan tangan ninik sendiri, namun naskah tersebut pernah dipinjam oleh kemanakannya yang dikenal di Indonesia sebagai Sastrawan Angkatan 66 dan juga sebagai Sutradara terkenal di Indonesia, yaitu, drh. H. Asrul Sani bin Sultan Syahir Alamsyah (ayah beliau Demang di Padang Unang). Oleh beliau dibawa ke Jakarta, dan sampai saat ini naskah asli ninik tidak pernah lagi ditemukan. Walau demikian Ninik kerap menjadikan mamak Yusni Tahmrin bin Chaidir, beliau ini oleh ninik sudah dianggap anak sendiri. Dengan beliau ninik kerap melakukan diskusi terhadap perkembangan dan pertumbuhan rakyat Rao. Apa lagi Mamak Yus (Yusni Tahmrin bin Chaidir) ini seorang jurnalis senior di kota Medan. Banyak tulisan-tulisan kritis beliau terhadap demokrasi, politik dan budaya. Bagi kami mamak Yus ini merupakan naskah tidak tertulis tentang Tuanku Rao, tetapi sayang beliau telah tiada dan dimakamkan di Jakarta.

Gerakan Rakyat Rao di Medan

Awal tahun 1992, di inisiasi oleh Drs. H. Fauzy Ahmad Parinduri bin Ahmad (suami dari Hajjah Ida Fatmah binti Bustami bin Raja Adil), Rusman bin Hakim, Rahanum, SH, MKn. Binti  Datuk Gindak, dan Hajjah Ashma Farida binti Bustami bin Raja Adil terbentuklah Perkumpulan Keluarga Raja Adil di Medan, dan terkumpulah keturunan Raja Adil di Kota Medan dan sekitarnya. Data terakhir diperoleh 35 kepala keluarga. Tetapi sayang gerakan perkumpulan ini terhenti di awal tahun 2000.  Dan dari data tersebut diketahui bahwa keturunan Raja Adil tersebar di Kota Medan, kota Binjai, Kisaran, Air Batu, Tebing Tinggi, dan lainnya.
Alhamdullilah, walau berdiri sebentar, namun perkumpulan ini berhasil melengkapi silsilah keluarga yang lebih dahulu dibuat oleh ninik. Dan selanjutnya secara tidak langsung, terdata kembali generasi turunan keluarga Raja Adil di kota Medan.

Perempuan yang Tegar dan Beriman

Bagi ninik, sosok Uci Nurma Dahniar binti Aminullah gelar Sutan Kumalo begitu kuat dan berkesan baginya. Terhadap kami cucunya, beliau bercerita begitu kagum dan bangganya ninik terhadap sosok uci yang berjiwa social itu. Uci aktif dalam organisasi kemasyarakatan dan keagamaan di Rao, uci termasuk anggota PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), uci selalu mendatangi rumah muridnya bila kedapatan tidak hadir di dalam kelas, dengan segala upaya, akhirnya Uci selalu berhasil membawa kembali muridnya ke dalam kelas untuk belajar. Begitulah uci melakoni dirinya sebagai seorang guru. 

Bahkan anak-anak kandung uci, belajar bersama dengan anak-anak lainnya di dalam kelas, tanpa membeda-bedakan status social anak-anak. Saat itu uci tergolong masih muda, dan memiliki anak-anak yang masih kecil, namun uci selalu tegas terhadap para wali murid yang menentang anak-anak mereka untuk bersekolah. Uci tidak gentar dengan orang tua murid yang bisa jadi adalah bahagian dari mamak, ame, onne, mak tuo, angah, atau setalidarah dengan uci. Begitulah uci kalau sudah menyangkut sekolah tidak boleh tidak, harus sekolah. Menurut uci, semua harus belajar biar tidak menjadi bodoh dan tidak dijajah. 

Akhirnya uci wafat dalam usia muda (32 tahun), saat penjajahan Jepang 1948 memasuki tanah Rao dan Sumatera Barat. Karena kekurangan fasilitas, sehingga uci yang mengindap penyakit appendixs (usus buntu) tidak dapat tertolong lagi. Uci meninggalkan ninik dan anak-anaknya yang masih kecil-kecil (Tina; 9 tahun, Inong; 6 tahun, dan ida; 3 tahun). Akhirnya Ninik membawa anak-anak ke tanah Deli (kota Medan), sehingga akhir hayat ninik, di tetap membesarkan anak-anaknya sampai memiliki cucu (13 orang dan 23 cicit) yang kini menyebar di Medan, Kisaran, Jogja, Jakarta, Batam, Qatar, Padang, Singapore, Samarinda, dan Bandung.

Dibuat di Medan
16 Februari 2011
Oleh : Efrizal Adil Lubis, MA.