GENEALOGY
Sabtu, 25 Juli 2015
Selasa, 21 Juli 2015
Selasa, 01 Januari 2013
MENGENANG ETEK Hj. IDA FATHMA BINTI BUSTAMI BIN SUTAN ADIL
MENGENANG 135 HARI KEPERGIAN ETEK TERCINTA :
Hj. IDA FATHMA BINTI BUSTAMI BIN SUTAN SULAMAIN GELAR RAJA MANUNJANG
DARI KAMPUNG PACAHAN - TARUNG-TARUNG, RAO SUMBAR
MENINGGAL DI MEDAN, TANGGAL 19 AGUSTUS 2012 M - 1 SYAWAL 1433 H DIKEBUMIKAN DI PERKUBURAN MUSLIM SEI BATU GINGING MEDAN
Sebuah renungan bagi kita semua..... Kematian juga dikemukakan oleh Al-Quran dalam konteks menguraikan nikmat-nikmat-Nya kepada manusia. Dalam surat Al-Baqarah (2): 28 Allah mempertanyakan kepada orang-orang kafir. "Bagaimana kamu mengingkari (Allah) sedang kamu tadinya mati, kemudian dihidupkan (oleh-Nya), kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kamu dikembalikan kepada-Nya." Nikmat yang diakibatkan oleh kematian, bukan saja dalam kehidupan ukhrawi nanti, tetapi juga dalam kehidupan duniawi, karena tidak dapat dibayangkan bagaimana keadaan dunia kita yang terbatas arealnya ini, jika seandainya semua manusia hidup terus-menerus tanpa mengalami kematian. Muhammad Iqbal menegaskan bahwa mustahil sama sekali bagi makhluk manusia yang mengalami perkembangan jutaan tahun, untuk dilemparkan begitu saja bagai barang yang tidak berharga. Tetapi itu baru dapat terlaksana apabila ia mampu menyucikan dirinya secara terus menerus. Penyucian jiwa itu dengan jalan menjauhkan diri dari kekejian dan dosa, dengan jalan amal saleh. Bukankah Al-Quran menegaskan bahwa, "Mahasuci Allah Yang di dalam genggaman kekuasaan-Nya seluruh kerajaan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kamu siapakah di antara kamu yang paling baik amalnya, dan sesungguhnya Dia Mahamulia lagi Maha Pengampun" (QS Al-Mulk [67]: 1-2).1 Demikian terlihat bahwa kematian dalam pandangan Islam bukanlah sesuatu yang buruk, karena di samping mendorong manusia untuk meningkatkan pengabdiannya dalam kehidupan dunia ini, ia juga merupakan pintu gerbang untuk memasuki kebahagiaan abadi, serta mendapatkan keadilan sejati. KEMATIAN HANYA KETIADAAN HIDUP DI DUNIA Ayat-ayat Al-Quran dan hadis Nabi menunjukkan bahwa kematian bukanlah ketiadaan hidup secara mutlak, tetapi ia adalah ketiadaan hidup di dunia, dalam arti bahwa manusia yang meninggal pada hakikatnya masih tetap hidup di alam lain dan dengan cara yang tidak dapat diketahui sepenuhnya. "Janganlah kamu menduga bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, tetapi mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki" (QS Ali-'Imran [3]: 169). "Janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang meninggal di jalan Allah bahwa 'mereka itu telah mati,' sebenarnya mereka hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya" (QS Al-Baqarah [2]: 154). Imam Bukhari meriwayatkan melalui sahabat Nabi Al-Bara' bin Azib, bahwa Rasulullah Saw., bersabda ketika putra beliau, Ibrahim, meninggal dunia, "Sesungguhnya untuk dia (Ibrahim) ada seseorang yang menyusukannya di surga." Sejarawan Ibnu Ishak dan lain-lain meriwayatkan bahwa ketika orang-orang musyrik yang tewas dalam peperangan Badar dikuburkan dalam satu perigi oleh Nabi dan sahabat-sahabatnya, beliau "bertanya" kepada mereka yang telah tewas itu, "Wahai penghuni perigi, wahai Utbah bin Rabi'ah, Syaibah bin Rabi'ah, Ummayah bin Khalaf; Wahai Abu Jahl bin Hisyam, (seterusnya beliau menyebutkan nama orang-orang yang di dalam perigi itu satu per satu). Wahai penghuni perigi! Adakah kamu telah menemukan apa yang dijanjikanTuhanmu itu benar-benar ada? Aku telah mendapati apa yang telah dijanjikan Tuhanku." "Rasul. Mengapa Anda berbicara dengan orang yang sudah tewas?" Tanya para sahabat. Rasul menjawab: "Ma antum hi asma' mimma aqul minhum, walakinnahum la yastathi'una an yujibuni (Kamu sekalian tidak lebih mendengar dari mereka, tetapi mereka tidak dapat menjawabku)."2 Demikian beberapa teks keagamaan yang dijadikan alasan untuk membuktikan bahwa kematian bukan kepunahan, tetapi kelahiran dan kehidupan baru. MENGAPA TAKUT MATI? Di atas telah dikemukakan beberapa faktor yang menyebabkan seseorang merasa cemas dan takut terhadap kematian. Di sini akan dicoba untuk melihat lebih jauh betapa sebagian dari faktor-faktor tersebut pada hakikatnya bukan pada tempatnya. Al-Quran seperti dikemukakan berusaha menggambarkan bahwa hidup di akhirat jauh lebih baik daripada kehidupan dunia. "Sesungguhnya akhirat itu lebih baik untukmu daripada dunia" (QS Al-Dhuha [93]: 4). Musthafa Al-Kik menulis dalam bukunya Baina Alamain bahwasanya kematian yang dialami oleh manusia dapat berupa kematian mendadak seperti serangan jantung, tabrakan, dan sebagainya, dan dapat juga merupakan kematian normal yang terjadi melalui proses menua secara perlahan. Yang mati mendadak maupun yang normal, kesemuanya mengalami apa yang dinamai sakarat al-maut (sekarat) yakni semacam hilangnya kesadaran yang diikuti oleh lepasnya ruh dan jasad. Dalam keadaan mati mendadak, sakarat al-maut itu hanya terjadi beberapa saat singkat, yang mengalaminya akan merasa sangat sakit karena kematian yang dihadapinya ketika itu diibaratkan oleh Nabi Saw.- seperti "duri yang berada dalam kapas, dan yang dicabut dengan keras." Banyak ulama tafsir menunjuk ayat Wa nazi'at gharqa (Demi malaikat-malaikat yang mencabut nyawa dengan keras) (QS An-Nazi'at [79]: 1), sebagai isyarat kematian mendadak. Sedang lanjutan ayat surat tersebut yaitu Wan nasyithati nasytha (malaikat-malaikat yang mencabut ruh dengan lemah lembut) sebagai isyarat kepada kematian yang dialami secara perlahan-lahan.3 Kematian yang melalui proses lambat itu dan yang dinyatakan oleh ayat di atas sebagai "dicabut dengan lemah lembut," sama keadaannya dengan proses yang dialami seseorang pada saat kantuk sampai dengan tidur. Surat Al-Zumar (39): 42 yang dikutip sebelum ini mendukung pandangan yang mempersamakan mati dengan tidur. Dalam hadis pun diajarkan bahwasanya tidur identik dengan kematian. Bukankah doa yang diajarkan Rasulullah Saw. untuk dibaca pada saat bangun tidur adalah: "Segala puji bagi Allah yang menghidupkan kami (membangunkan dari tidur) setelah mematikan kami (menidurkan). Dan kepada-Nya jua kebangkitan (kelak)." Pakar tafsir Fakhruddin Ar-Razi, mengomentari surat Al-Zumar (39): 42 sebagai berikut: "Yang pasti adalah tidur dan mati merupakan dua hal dari jenis yang sama. Hanya saja kematian adalah putusnya hubungan secara sempurna, sedang tidur adalah putusnya hubungan tidak sempurna dilihat dari beberapa segi." Kalau demikian. mati itu sendiri "lezat dan nikmat," bukankah tidur itu demikian? Tetapi tentu saja ada faktor-faktor ekstern yang dapat menjadikan kematian lebih lezat dari tidur atau menjadikannya amat mengerikan melebihi ngerinya mimpi-mimpi buruk yang dialami manusia. Faktor-faktor ekstern tersebut muncul dan diakibatkan oleh amal manusia yang diperankannya dalam kehidupan dunia ini Nabi Muhammad Saw. dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad menjelaskan bahwa, "Seorang mukmin, saat menjelang kematiannya, akan didatangi oleh malaikat sambil menyampaikan dan memperlihatkan kepadanya apa yang bakal dialaminya setelah kematian. Ketika itu tidak ada yang lebih disenanginya kecuali bertemu dengan Tuhan (mati). Berbeda halnya dengan orang kafir yang juga diperlihatkannya kepadanya apa yang bakal dihadapinya, dan ketika itu tidak ada sesuatu yang lebih dibencinya daripada bertemu dengan Tuhan." Dalam surat Fushshilat (41): 30 Allah berfirman, "Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan bahwa Tuhan kami ialah Allah, kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan), 'Janganlah kamu merasa takut dan jangan pula bersedih, serta bergembiralah dengan surga yang dijanjikan Allah kepada kamu.'" Turunnya malaikat tersebut menurut banyak pakar tafsir adalah ketika seseorang yang sikapnya seperti digambarkan ayat di atas sedang menghadapi kematian. Ucapan malaikat, "Janganlah kamu merasa takut" adalah untuk menenangkan mereka menghadapi maut dan sesudah maut, sedang "jangan bersedih" adalah untuk menghilangkan kesedihan mereka menyangkut persoalan dunia yang ditinggalkan seperti anak, istri, harta, atau hutang. Sebaliknya Al-Quran mengisyaratkan bahwa keadaan orang-orang kafir ketika menghadapi kematian sulit terlukiskan: "Kalau sekuanya kamu dapat melihat malaikat-malaikat mencabut nyawa orang-orang yang kafir seraya memukul muka dan belakang mereka serta berkata, 'Rasakanlah olehmu siksa neraka yang membakar' (niscaya kamu akan merasa sangat ngeri)" (QS Al-Anfal [8]: 50) "Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim berada dalam tekanan-tekanan sakaratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya sambil berkata, 'Keluarkanlah nyawamu! Di hari ini, kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah perkataan yang tidak benar, dan karena kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya" (QS Al-An'am [6]: 93). Di sisi lain, manusia dapat "menghibur" dirinya dalam menghadapi kematian dengan jalan selalu mengingat dan meyakini bahwa semua manusia pasti akan mati. Tidak seorang pun akan luput darinya, karena "kematian adalah risiko hidup." Bukankah Al-Quran menyatakan bahwa, "Setiap jiwa akan merasakan kematian?" (QS Ali 'Imran [3]: 183) "Kami tidak menganugerahkan hidup abadi untuk seorang manusiapun sebelum kamu. Apakah jika kamu meninggal dunia mereka akan kekal abadi? (QS Al-Anbiya' [21]: 34) Keyakinan akan kehadiran maut bagi setiap jiwa dapat membantu meringankan beban musibah kematian. Karena, seperti diketahui, "semakin banyak yang terlibat dalam kegembiraan, semakin besar pengaruh kegembiraan itu pada jiwa; sebaliknya, semakin banyak yang tertimpa atau terlibat musibah, semakin ringan musibah itu dipikul." Demikian Al-Quran menggambarkan kematian yang akan dialami oleh manusia taat dan durhaka, dan demikian kitab suci irõi menginformasikan tentang kematian yang dapat mengantar seorang mukmin agar tidak merasa khawatir menghadapinya. Sementara, yang tidak beriman atau yang durhaka diajak untuk bersiap-siap menghadapi berbagai ancaman dan siksaan. Semoga kita semua mendapatkan keridhaan Ilahi dan surga-Nya. Catatan kaki: 1 Tajdid Al-Fikr Al-lslami, 134. 2 Muhammad Husain Haikal, Sejarah Hidup Muhammad: 259. 3 Musthafa Al-Kik, hlm. 67 | |
| |
Selasa, 15 Februari 2011
OTOBIOGRAFI NINIK BUSTAMI BIN RAJA ADIL BIN SUTAN ADIL DARI TARUNG TARUNG RAO
Sejarah Ninik
Almarhum Ninik Bustami bin Raja Adil gelar Raja Manuncang bin Sutan Adil Gelar Sutan Sulaiman, lahir di Rao pada tanggal 9 April 1909, Beragama Islam dan menyelesaikan H.I.S, Kweekschool di Bukit Tinggi. Menikah dengan Almarhumah Nurma Dahniar binti Aminullah gelar Sutan Kumalo, lahir di Rao pada tanggal 16 Mei 1919. Dari Perkawinan tersebut diperoleh 3 orang putri, yang pertama Hj. Gustina Emmy, lahir di Binjai, tanggal 16 Juni 1939, kedua Hj. Ashma Farida, lahir di Binjai, tanggal 29 Maret 1941, dan ketiga Hj. Ida Fathma, lahir di Binjai, tanggal 28 Maret 1943.
Ninik Bustami memulai kariernya di tahun 1930 sebagai Krani di United States Rubber Plantations, Inc. Bunut, Kisaran, kemudian sebagai kepala HIS Partikelir di Binjai tahun 1931 sampai 1939, selanjutnya bersama Almarhum Amir Hamzah selaku sahabatnya mereka membuka sekolah di Selesai Langkat (Schoolopzeiner/Volks-school No.2) pada tahun 1940 sampai dengan 1942.
Terjadinya perperangan di tanah air, tahun 1945, Ninik kembali ke Rao, dan menjadi Wali Negeri Rao di tahun 1945 sampai dengan tahun 1949, setelah melepaskan tanggungjawab sebagai Wali Negeri, Ninik melakoni hidup menjadi Intelligent merangkap Kepala Perbekalan Staff ke Sumatera yang berkedudukan di Rao, hal ini dilakoni Ninik sejak tahun 1949 sampai dengan 1950. Kemudian Ninik diangkat menjadi Anggota Executive Dewan Pemerintahan Wilayah (DPW) Rao, di tahun 1950-1951, kemudian hijrah ke Medan dan menjadi Komis pada Dinas Penyempurnaan Pengetahuan dan Keahlian (DPPU) TT-I di Medan, tahun 1951. Selanjutnya diangkat dan diberi kepangkatan oleh Tentara Republik Indonesia sebagai Pembantu Letnan, dan sebagai Kepala Biro Pendidikan DPPK TT-I Medan, tahun 1951-1952, kemudian menjadi Perwira DPPK-KMKB Medan, tahun 1952-1953. Selanjutnya sebagai kepala biro pendidikan LPPU-TT I Medan, tahun 1953-1956. Di tahun 1956 sampai 1959 kepangkatan Ninik dinaikkan menjadi Letnan II, kemudian tahun 1959 – 1960 menjadi Perwira DPPU-MKB Medan. Tahun 1966 pensiun dari TNI, dan sebelumnya sejak tahun 1962 sampai dengan 1970 bekerja di Ex N.V. Deli Spoorweg Maatschappij di Medan.
Ninik wafat pada tanggal 13 Januari 1990, di Medan, dimakamkan di perkuburan Muslim Sei Batugingging Medan. Dan Uci Nurma Dahniar, wafat di Bukit Tinggi pada tahun 1948, meninggal di Rumah Sakit Umum Bukit Tinggi. Dan dikebumikan di perkuburan Muslim Bukit Apik Bukit Tinggi.
Sejarah Rao Yang Dikaburkan
Ninik menguasai dua bahasa secara baik, yaitu bahasa Inggris dan bahasa Belanda, bidang pengetahuan yang dikuasai ninik adalah bidang Geografi. Prestasi Ninik di tahun 1940 an mendirikan ‘Tonil’ (group panggung sandiwara), yang menampilkan cerita-cerita rakyat, terutama tentang perjuangan pasukan Paderi, dengan pimpinan panglima Tuanku Rao, hal ini sengaja di kedepan ninik saat itu dalam upaya mengembalikan semangat dan kepercayaan masyarakat Rao terhadap kepribadiannya. Panggung Sandiwara ini sekaligus menjadi media kapampanye Ninik dalam melawan segala bentuk penjajahan di tanah Rao. Kepada kami, beliau pernah menyampaikan kritikan dan ketidak setujuannya terhadap tulisan dan pandangan Buku karya MO Parlindungan terhadap Tuanku Rao. Menurut beliau banyak kesalahan didalamnya dan berbahaya bagi sejarah, tentunya bahaya bagi generasi penurus Rao kedepannya.
Karena ketidak puasan beliau maka, beliau berhasil membuat buku, dengan tulisan tangan ninik sendiri, namun naskah tersebut pernah dipinjam oleh kemanakannya yang dikenal di Indonesia sebagai Sastrawan Angkatan 66 dan juga sebagai Sutradara terkenal di Indonesia, yaitu, drh. H. Asrul Sani bin Sultan Syahir Alamsyah (ayah beliau Demang di Padang Unang). Oleh beliau dibawa ke Jakarta, dan sampai saat ini naskah asli ninik tidak pernah lagi ditemukan. Walau demikian Ninik kerap menjadikan mamak Yusni Tahmrin bin Chaidir, beliau ini oleh ninik sudah dianggap anak sendiri. Dengan beliau ninik kerap melakukan diskusi terhadap perkembangan dan pertumbuhan rakyat Rao. Apa lagi Mamak Yus (Yusni Tahmrin bin Chaidir) ini seorang jurnalis senior di kota Medan. Banyak tulisan-tulisan kritis beliau terhadap demokrasi, politik dan budaya. Bagi kami mamak Yus ini merupakan naskah tidak tertulis tentang Tuanku Rao, tetapi sayang beliau telah tiada dan dimakamkan di Jakarta.
Gerakan Rakyat Rao di Medan
Awal tahun 1992, di inisiasi oleh Drs. H. Fauzy Ahmad Parinduri bin Ahmad (suami dari Hajjah Ida Fatmah binti Bustami bin Raja Adil), Rusman bin Hakim, Rahanum, SH, MKn. Binti Datuk Gindak, dan Hajjah Ashma Farida binti Bustami bin Raja Adil terbentuklah Perkumpulan Keluarga Raja Adil di Medan, dan terkumpulah keturunan Raja Adil di Kota Medan dan sekitarnya. Data terakhir diperoleh 35 kepala keluarga. Tetapi sayang gerakan perkumpulan ini terhenti di awal tahun 2000. Dan dari data tersebut diketahui bahwa keturunan Raja Adil tersebar di Kota Medan, kota Binjai, Kisaran, Air Batu, Tebing Tinggi, dan lainnya.
Alhamdullilah, walau berdiri sebentar, namun perkumpulan ini berhasil melengkapi silsilah keluarga yang lebih dahulu dibuat oleh ninik. Dan selanjutnya secara tidak langsung, terdata kembali generasi turunan keluarga Raja Adil di kota Medan.
Perempuan yang Tegar dan Beriman
Bagi ninik, sosok Uci Nurma Dahniar binti Aminullah gelar Sutan Kumalo begitu kuat dan berkesan baginya. Terhadap kami cucunya, beliau bercerita begitu kagum dan bangganya ninik terhadap sosok uci yang berjiwa social itu. Uci aktif dalam organisasi kemasyarakatan dan keagamaan di Rao, uci termasuk anggota PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), uci selalu mendatangi rumah muridnya bila kedapatan tidak hadir di dalam kelas, dengan segala upaya, akhirnya Uci selalu berhasil membawa kembali muridnya ke dalam kelas untuk belajar. Begitulah uci melakoni dirinya sebagai seorang guru.
Bahkan anak-anak kandung uci, belajar bersama dengan anak-anak lainnya di dalam kelas, tanpa membeda-bedakan status social anak-anak. Saat itu uci tergolong masih muda, dan memiliki anak-anak yang masih kecil, namun uci selalu tegas terhadap para wali murid yang menentang anak-anak mereka untuk bersekolah. Uci tidak gentar dengan orang tua murid yang bisa jadi adalah bahagian dari mamak, ame, onne, mak tuo, angah, atau setalidarah dengan uci. Begitulah uci kalau sudah menyangkut sekolah tidak boleh tidak, harus sekolah. Menurut uci, semua harus belajar biar tidak menjadi bodoh dan tidak dijajah.
Akhirnya uci wafat dalam usia muda (32 tahun), saat penjajahan Jepang 1948 memasuki tanah Rao dan Sumatera Barat. Karena kekurangan fasilitas, sehingga uci yang mengindap penyakit appendixs (usus buntu) tidak dapat tertolong lagi. Uci meninggalkan ninik dan anak-anaknya yang masih kecil-kecil (Tina; 9 tahun, Inong; 6 tahun, dan ida; 3 tahun). Akhirnya Ninik membawa anak-anak ke tanah Deli (kota Medan), sehingga akhir hayat ninik, di tetap membesarkan anak-anaknya sampai memiliki cucu (13 orang dan 23 cicit) yang kini menyebar di Medan, Kisaran, Jogja, Jakarta, Batam, Qatar, Padang, Singapore, Samarinda, dan Bandung.
Dibuat di Medan
16 Februari 2011
Oleh : Efrizal Adil Lubis, MA.
Senin, 14 Februari 2011
Langganan:
Postingan (Atom)