Selasa, 01 Januari 2013

MENGENANG ETEK Hj. IDA FATHMA BINTI BUSTAMI BIN SUTAN ADIL




MENGENANG 135 HARI KEPERGIAN ETEK TERCINTA :
Hj. IDA FATHMA BINTI BUSTAMI BIN SUTAN SULAMAIN GELAR RAJA MANUNJANG
DARI  KAMPUNG PACAHAN - TARUNG-TARUNG, RAO SUMBAR

MENINGGAL DI MEDAN, TANGGAL 19 AGUSTUS 2012 M - 1 SYAWAL 1433 H DIKEBUMIKAN DI PERKUBURAN MUSLIM  SEI BATU GINGING MEDAN


Sebuah renungan bagi kita semua..... 
 
Kematian  juga  dikemukakan  oleh  Al-Quran  dalam   konteks
menguraikan  nikmat-nikmat-Nya  kepada  manusia. Dalam surat
Al-Baqarah (2): 28 Allah mempertanyakan  kepada  orang-orang
kafir.
 
     "Bagaimana kamu mengingkari (Allah) sedang kamu
     tadinya mati, kemudian dihidupkan (oleh-Nya),
     kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya
     kembali, kemudian kamu dikembalikan kepada-Nya."
 
Nikmat yang diakibatkan  oleh  kematian,  bukan  saja  dalam
kehidupan   ukhrawi   nanti,  tetapi  juga  dalam  kehidupan
duniawi, karena tidak dapat  dibayangkan  bagaimana  keadaan
dunia kita yang terbatas arealnya ini, jika seandainya semua
manusia hidup terus-menerus tanpa mengalami kematian.
 
Muhammad Iqbal menegaskan bahwa mustahil  sama  sekali  bagi
makhluk  manusia  yang  mengalami perkembangan jutaan tahun,
untuk  dilemparkan  begitu  saja  bagai  barang  yang  tidak
berharga.  Tetapi itu baru dapat terlaksana apabila ia mampu
menyucikan dirinya secara terus menerus. Penyucian jiwa  itu
dengan  jalan menjauhkan diri dari kekejian dan dosa, dengan
jalan amal saleh. Bukankah Al-Quran menegaskan bahwa,
 
     "Mahasuci Allah Yang di dalam genggaman
     kekuasaan-Nya seluruh kerajaan, dan Dia Mahakuasa
     atas segala sesuatu. Yang menciptakan mati dan
     hidup untuk menguji kamu siapakah di antara kamu
     yang paling baik amalnya, dan sesungguhnya Dia
     Mahamulia lagi Maha Pengampun" (QS Al-Mulk [67]:
     1-2).1
 
Demikian  terlihat  bahwa  kematian  dalam  pandangan  Islam
bukanlah  sesuatu  yang  buruk,  karena di samping mendorong
manusia untuk  meningkatkan  pengabdiannya  dalam  kehidupan
dunia  ini,  ia  juga merupakan pintu gerbang untuk memasuki
kebahagiaan abadi, serta mendapatkan keadilan sejati.
 
KEMATIAN HANYA KETIADAAN HIDUP DI DUNIA
 
Ayat-ayat Al-Quran dan hadis Nabi menunjukkan bahwa kematian
bukanlah  ketiadaan  hidup  secara  mutlak, tetapi ia adalah
ketiadaan hidup di dunia,  dalam  arti  bahwa  manusia  yang
meninggal pada hakikatnya masih tetap hidup di alam lain dan
dengan cara yang tidak dapat diketahui sepenuhnya.
 
     "Janganlah kamu menduga bahwa orang-orang yang
     gugur di jalan Allah itu mati, tetapi mereka itu
     hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki" (QS
     Ali-'Imran [3]: 169).
     
     "Janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang
     yang meninggal di jalan Allah bahwa 'mereka itu
     telah mati,' sebenarnya mereka hidup, tetapi kamu
     tidak menyadarinya" (QS Al-Baqarah [2]: 154).
 
Imam Bukhari meriwayatkan melalui sahabat Nabi Al-Bara'  bin
Azib,  bahwa  Rasulullah Saw., bersabda ketika putra beliau,
Ibrahim, meninggal dunia, "Sesungguhnya untuk dia  (Ibrahim)
ada seseorang yang menyusukannya di surga."
 
Sejarawan Ibnu Ishak dan lain-lain meriwayatkan bahwa ketika
orang-orang  musyrik  yang  tewas  dalam  peperangan   Badar
dikuburkan    dalam    satu    perigi    oleh    Nabi    dan
sahabat-sahabatnya, beliau  "bertanya"  kepada  mereka  yang
telah  tewas  itu,  "Wahai  penghuni perigi, wahai Utbah bin
Rabi'ah, Syaibah bin Rabi'ah, Ummayah bin Khalaf; Wahai  Abu
Jahl   bin   Hisyam,  (seterusnya  beliau  menyebutkan  nama
orang-orang yang di dalam perigi itu satu per  satu).  Wahai
penghuni  perigi!  Adakah  kamu  telah  menemukan  apa  yang
dijanjikanTuhanmu itu benar-benar ada? Aku  telah  mendapati
apa yang telah dijanjikan Tuhanku."
 
"Rasul. Mengapa  Anda  berbicara  dengan  orang  yang  sudah
tewas?"  Tanya  para  sahabat.  Rasul menjawab: "Ma antum hi
asma' mimma aqul minhum,  walakinnahum  la  yastathi'una  an
yujibuni  (Kamu  sekalian tidak lebih mendengar dari mereka,
tetapi mereka tidak dapat menjawabku)."2
 
Demikian beberapa teks keagamaan yang dijadikan alasan untuk
membuktikan bahwa kematian bukan kepunahan, tetapi kelahiran
dan kehidupan baru.
 
MENGAPA TAKUT MATI?
 
Di atas telah dikemukakan beberapa faktor  yang  menyebabkan
seseorang merasa cemas dan takut terhadap kematian.
 
Di sini akan dicoba untuk melihat lebih jauh betapa sebagian
dari  faktor-faktor  tersebut  pada  hakikatnya  bukan  pada
tempatnya.
 
Al-Quran  seperti  dikemukakan  berusaha menggambarkan bahwa
hidup di akhirat jauh lebih baik daripada kehidupan dunia.
 
     "Sesungguhnya akhirat itu lebih baik untukmu
     daripada dunia" (QS Al-Dhuha [93]: 4).
 
Musthafa  Al-Kik  menulis  dalam   bukunya   Baina   Alamain
bahwasanya  kematian  yang dialami oleh manusia dapat berupa
kematian mendadak seperti serangan  jantung,  tabrakan,  dan
sebagainya,  dan  dapat  juga merupakan kematian normal yang
terjadi melalui proses  menua  secara  perlahan.  Yang  mati
mendadak  maupun  yang normal, kesemuanya mengalami apa yang
dinamai sakarat al-maut (sekarat)  yakni  semacam  hilangnya
kesadaran yang diikuti oleh lepasnya ruh dan jasad.
 
Dalam  keadaan  mati  mendadak,  sakarat  al-maut  itu hanya
terjadi beberapa saat singkat, yang mengalaminya akan merasa
sangat  sakit  karena  kematian  yang dihadapinya ketika itu
diibaratkan oleh Nabi Saw.- seperti "duri yang berada  dalam
kapas,  dan  yang dicabut dengan keras." Banyak ulama tafsir
menunjuk ayat Wa nazi'at gharqa (Demi malaikat-malaikat yang
mencabut  nyawa  dengan  keras)  (QS  An-Nazi'at  [79]:  1),
sebagai isyarat  kematian  mendadak.  Sedang  lanjutan  ayat
surat     tersebut     yaitu    Wan    nasyithati    nasytha
(malaikat-malaikat yang mencabut ruh  dengan  lemah  lembut)
sebagai   isyarat   kepada   kematian  yang  dialami  secara
perlahan-lahan.3
 
Kematian yang melalui proses lambat itu dan yang  dinyatakan
oleh  ayat  di  atas  sebagai "dicabut dengan lemah lembut,"
sama keadaannya dengan proses yang  dialami  seseorang  pada
saat  kantuk  sampai  dengan  tidur. Surat Al-Zumar (39): 42
yang  dikutip   sebelum   ini   mendukung   pandangan   yang
mempersamakan  mati  dengan tidur. Dalam hadis pun diajarkan
bahwasanya tidur identik dengan kematian. Bukankah doa  yang
diajarkan  Rasulullah  Saw.  untuk  dibaca  pada saat bangun
tidur adalah:
 
     "Segala puji bagi Allah yang menghidupkan kami
     (membangunkan dari tidur) setelah mematikan kami
     (menidurkan). Dan kepada-Nya jua kebangkitan
     (kelak)."
 
Pakar tafsir Fakhruddin Ar-Razi, mengomentari surat Al-Zumar
(39): 42 sebagai berikut:
 
     "Yang pasti adalah tidur dan mati merupakan dua
     hal dari jenis yang sama. Hanya saja kematian
     adalah putusnya hubungan secara sempurna, sedang
     tidur adalah putusnya hubungan tidak sempurna
     dilihat dari beberapa segi."
 
Kalau  demikian.  mati  itu  sendiri  "lezat  dan   nikmat,"
bukankah   tidur   itu   demikian?  Tetapi  tentu  saja  ada
faktor-faktor ekstern yang dapat menjadikan  kematian  lebih
lezat dari tidur atau menjadikannya amat mengerikan melebihi
ngerinya   mimpi-mimpi   buruk   yang    dialami    manusia.
Faktor-faktor  ekstern  tersebut muncul dan diakibatkan oleh
amal manusia yang diperankannya dalam kehidupan dunia ini
 
Nabi Muhammad Saw. dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh
Imam   Ahmad   menjelaskan   bahwa,  "Seorang  mukmin,  saat
menjelang kematiannya, akan didatangi oleh  malaikat  sambil
menyampaikan  dan  memperlihatkan  kepadanya  apa yang bakal
dialaminya setelah kematian. Ketika itu tidak ada yang lebih
disenanginya  kecuali  bertemu  dengan Tuhan (mati). Berbeda
halnya  dengan  orang  kafir  yang   juga   diperlihatkannya
kepadanya  apa  yang bakal dihadapinya, dan ketika itu tidak
ada sesuatu yang lebih dibencinya  daripada  bertemu  dengan
Tuhan."
 
Dalam surat Fushshilat (41): 30 Allah berfirman,
 
     "Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan bahwa
     Tuhan kami ialah Allah, kemudian mereka meneguhkan
     pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada
     mereka (dengan mengatakan), 'Janganlah kamu merasa
     takut dan jangan pula bersedih, serta
     bergembiralah dengan surga yang dijanjikan Allah
     kepada kamu.'"
 
Turunnya  malaikat  tersebut  menurut  banyak  pakar  tafsir
adalah  ketika  seseorang  yang sikapnya seperti digambarkan
ayat di atas sedang menghadapi  kematian.  Ucapan  malaikat,
"Janganlah  kamu  merasa  takut"  adalah  untuk  menenangkan
mereka menghadapi maut  dan  sesudah  maut,  sedang  "jangan
bersedih"   adalah   untuk  menghilangkan  kesedihan  mereka
menyangkut persoalan dunia yang ditinggalkan  seperti  anak,
istri, harta, atau hutang.
 
Sebaliknya Al-Quran mengisyaratkan bahwa keadaan orang-orang
kafir ketika menghadapi kematian sulit terlukiskan:
 
     "Kalau sekuanya kamu dapat melihat
     malaikat-malaikat mencabut nyawa orang-orang yang
     kafir seraya memukul muka dan belakang mereka
     serta berkata, 'Rasakanlah olehmu siksa neraka
     yang membakar' (niscaya kamu akan merasa sangat
     ngeri)" (QS Al-Anfal [8]: 50)
     
     "Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di
     waktu orang-orang yang zalim berada dalam
     tekanan-tekanan sakaratul maut, sedang para
     malaikat memukul dengan tangannya sambil berkata,
     'Keluarkanlah nyawamu! Di hari ini, kamu dibalas
     dengan siksaan yang sangat menghinakan karena kamu
     selalu mengatakan terhadap Allah perkataan yang
     tidak benar, dan karena kamu selalu menyombongkan
     diri terhadap ayat-ayat-Nya" (QS Al-An'am [6]:
     93).
 
Di  sisi  lain,  manusia  dapat  "menghibur"  dirinya  dalam
menghadapi   kematian  dengan  jalan  selalu  mengingat  dan
meyakini bahwa semua manusia pasti akan mati. Tidak  seorang
pun  akan  luput  darinya,  karena  "kematian  adalah risiko
hidup." Bukankah Al-Quran menyatakan bahwa,
 
     "Setiap jiwa akan merasakan kematian?" (QS Ali
     'Imran [3]: 183)
     
     "Kami tidak menganugerahkan hidup abadi untuk
     seorang manusiapun sebelum kamu. Apakah jika kamu
     meninggal dunia mereka akan kekal abadi? (QS
     Al-Anbiya' [21]: 34)
 
Keyakinan  akan  kehadiran  maut  bagi  setiap  jiwa   dapat
membantu meringankan beban musibah kematian. Karena, seperti
diketahui, "semakin banyak yang terlibat dalam  kegembiraan,
semakin   besar   pengaruh   kegembiraan   itu   pada  jiwa;
sebaliknya,  semakin  banyak  yang  tertimpa  atau  terlibat
musibah, semakin ringan musibah itu dipikul."
 
Demikian  Al-Quran  menggambarkan kematian yang akan dialami
oleh manusia taat dan durhaka, dan demikian kitab suci  irõi
menginformasikan   tentang  kematian  yang  dapat  mengantar
seorang mukmin agar  tidak  merasa  khawatir  menghadapinya.
Sementara, yang tidak beriman atau yang durhaka diajak untuk
bersiap-siap menghadapi berbagai ancaman dan siksaan.
 
Semoga kita semua mendapatkan keridhaan Ilahi dan surga-Nya.
 
Catatan kaki:
1 Tajdid Al-Fikr Al-lslami, 134.
2 Muhammad Husain Haikal, Sejarah Hidup Muhammad: 259.
3 Musthafa Al-Kik, hlm. 67

WAWASAN AL-QURAN Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat Dr. M. Quraish Shihab, M.A. Penerbit Mizan Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124 Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038 mailto:mizan@ibm.net




Selasa, 15 Februari 2011

OTOBIOGRAFI NINIK BUSTAMI BIN RAJA ADIL BIN SUTAN ADIL DARI TARUNG TARUNG RAO


Sejarah Ninik

Almarhum Ninik Bustami bin Raja Adil gelar Raja Manuncang bin Sutan Adil Gelar Sutan Sulaiman, lahir di Rao pada tanggal 9 April 1909, Beragama Islam dan menyelesaikan H.I.S, Kweekschool di Bukit Tinggi. Menikah dengan Almarhumah Nurma Dahniar binti Aminullah gelar Sutan Kumalo, lahir di Rao pada tanggal 16 Mei 1919. Dari Perkawinan tersebut diperoleh 3 orang putri, yang pertama Hj. Gustina Emmy, lahir di Binjai, tanggal 16 Juni 1939, kedua Hj. Ashma Farida, lahir di Binjai, tanggal 29 Maret 1941, dan ketiga Hj. Ida Fathma, lahir di Binjai, tanggal 28 Maret 1943. 

Ninik Bustami memulai kariernya di tahun 1930 sebagai Krani di United States Rubber Plantations, Inc. Bunut, Kisaran, kemudian sebagai kepala HIS Partikelir di Binjai tahun 1931 sampai 1939, selanjutnya bersama Almarhum Amir Hamzah selaku sahabatnya mereka membuka sekolah di Selesai Langkat (Schoolopzeiner/Volks-school No.2) pada tahun 1940 sampai dengan 1942.
Terjadinya perperangan di tanah air, tahun 1945, Ninik kembali ke Rao, dan menjadi Wali Negeri Rao di tahun 1945 sampai dengan tahun 1949, setelah melepaskan tanggungjawab sebagai Wali Negeri, Ninik melakoni hidup menjadi Intelligent merangkap Kepala Perbekalan Staff ke Sumatera yang berkedudukan di Rao, hal ini dilakoni Ninik sejak tahun 1949 sampai dengan 1950. Kemudian Ninik diangkat menjadi Anggota Executive Dewan Pemerintahan Wilayah (DPW) Rao, di tahun 1950-1951, kemudian hijrah ke Medan dan menjadi Komis pada Dinas Penyempurnaan Pengetahuan dan Keahlian (DPPU) TT-I di Medan, tahun 1951. Selanjutnya diangkat dan diberi kepangkatan oleh Tentara Republik Indonesia sebagai Pembantu Letnan, dan sebagai Kepala Biro Pendidikan DPPK TT-I Medan, tahun 1951-1952, kemudian menjadi Perwira DPPK-KMKB Medan, tahun 1952-1953. Selanjutnya sebagai kepala biro pendidikan LPPU-TT I Medan, tahun 1953-1956. Di tahun 1956 sampai 1959 kepangkatan Ninik dinaikkan menjadi Letnan II, kemudian tahun 1959 – 1960 menjadi Perwira DPPU-MKB Medan. Tahun 1966 pensiun dari TNI, dan sebelumnya sejak tahun 1962 sampai dengan 1970 bekerja di Ex N.V. Deli Spoorweg Maatschappij di Medan.

Ninik wafat pada tanggal 13 Januari 1990, di Medan, dimakamkan di perkuburan Muslim Sei Batugingging Medan. Dan Uci Nurma Dahniar, wafat di Bukit Tinggi pada tahun 1948, meninggal di Rumah Sakit Umum Bukit Tinggi. Dan dikebumikan di perkuburan Muslim Bukit Apik Bukit Tinggi.

Sejarah Rao Yang Dikaburkan

Ninik menguasai dua bahasa secara baik, yaitu bahasa Inggris dan bahasa Belanda, bidang pengetahuan yang dikuasai ninik adalah bidang Geografi. Prestasi Ninik di tahun 1940 an mendirikan ‘Tonil’ (group panggung sandiwara), yang menampilkan cerita-cerita rakyat, terutama tentang perjuangan pasukan Paderi, dengan pimpinan panglima Tuanku Rao, hal ini sengaja di kedepan ninik saat itu dalam upaya mengembalikan semangat dan kepercayaan masyarakat Rao terhadap kepribadiannya. Panggung Sandiwara ini sekaligus menjadi media kapampanye Ninik dalam melawan segala bentuk penjajahan di tanah Rao. Kepada kami, beliau pernah menyampaikan kritikan dan ketidak setujuannya terhadap tulisan dan pandangan Buku karya MO Parlindungan terhadap Tuanku Rao. Menurut beliau banyak kesalahan didalamnya dan berbahaya bagi sejarah, tentunya bahaya bagi generasi penurus Rao kedepannya. 

Karena ketidak puasan beliau maka, beliau berhasil membuat buku, dengan tulisan tangan ninik sendiri, namun naskah tersebut pernah dipinjam oleh kemanakannya yang dikenal di Indonesia sebagai Sastrawan Angkatan 66 dan juga sebagai Sutradara terkenal di Indonesia, yaitu, drh. H. Asrul Sani bin Sultan Syahir Alamsyah (ayah beliau Demang di Padang Unang). Oleh beliau dibawa ke Jakarta, dan sampai saat ini naskah asli ninik tidak pernah lagi ditemukan. Walau demikian Ninik kerap menjadikan mamak Yusni Tahmrin bin Chaidir, beliau ini oleh ninik sudah dianggap anak sendiri. Dengan beliau ninik kerap melakukan diskusi terhadap perkembangan dan pertumbuhan rakyat Rao. Apa lagi Mamak Yus (Yusni Tahmrin bin Chaidir) ini seorang jurnalis senior di kota Medan. Banyak tulisan-tulisan kritis beliau terhadap demokrasi, politik dan budaya. Bagi kami mamak Yus ini merupakan naskah tidak tertulis tentang Tuanku Rao, tetapi sayang beliau telah tiada dan dimakamkan di Jakarta.

Gerakan Rakyat Rao di Medan

Awal tahun 1992, di inisiasi oleh Drs. H. Fauzy Ahmad Parinduri bin Ahmad (suami dari Hajjah Ida Fatmah binti Bustami bin Raja Adil), Rusman bin Hakim, Rahanum, SH, MKn. Binti  Datuk Gindak, dan Hajjah Ashma Farida binti Bustami bin Raja Adil terbentuklah Perkumpulan Keluarga Raja Adil di Medan, dan terkumpulah keturunan Raja Adil di Kota Medan dan sekitarnya. Data terakhir diperoleh 35 kepala keluarga. Tetapi sayang gerakan perkumpulan ini terhenti di awal tahun 2000.  Dan dari data tersebut diketahui bahwa keturunan Raja Adil tersebar di Kota Medan, kota Binjai, Kisaran, Air Batu, Tebing Tinggi, dan lainnya.
Alhamdullilah, walau berdiri sebentar, namun perkumpulan ini berhasil melengkapi silsilah keluarga yang lebih dahulu dibuat oleh ninik. Dan selanjutnya secara tidak langsung, terdata kembali generasi turunan keluarga Raja Adil di kota Medan.

Perempuan yang Tegar dan Beriman

Bagi ninik, sosok Uci Nurma Dahniar binti Aminullah gelar Sutan Kumalo begitu kuat dan berkesan baginya. Terhadap kami cucunya, beliau bercerita begitu kagum dan bangganya ninik terhadap sosok uci yang berjiwa social itu. Uci aktif dalam organisasi kemasyarakatan dan keagamaan di Rao, uci termasuk anggota PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), uci selalu mendatangi rumah muridnya bila kedapatan tidak hadir di dalam kelas, dengan segala upaya, akhirnya Uci selalu berhasil membawa kembali muridnya ke dalam kelas untuk belajar. Begitulah uci melakoni dirinya sebagai seorang guru. 

Bahkan anak-anak kandung uci, belajar bersama dengan anak-anak lainnya di dalam kelas, tanpa membeda-bedakan status social anak-anak. Saat itu uci tergolong masih muda, dan memiliki anak-anak yang masih kecil, namun uci selalu tegas terhadap para wali murid yang menentang anak-anak mereka untuk bersekolah. Uci tidak gentar dengan orang tua murid yang bisa jadi adalah bahagian dari mamak, ame, onne, mak tuo, angah, atau setalidarah dengan uci. Begitulah uci kalau sudah menyangkut sekolah tidak boleh tidak, harus sekolah. Menurut uci, semua harus belajar biar tidak menjadi bodoh dan tidak dijajah. 

Akhirnya uci wafat dalam usia muda (32 tahun), saat penjajahan Jepang 1948 memasuki tanah Rao dan Sumatera Barat. Karena kekurangan fasilitas, sehingga uci yang mengindap penyakit appendixs (usus buntu) tidak dapat tertolong lagi. Uci meninggalkan ninik dan anak-anaknya yang masih kecil-kecil (Tina; 9 tahun, Inong; 6 tahun, dan ida; 3 tahun). Akhirnya Ninik membawa anak-anak ke tanah Deli (kota Medan), sehingga akhir hayat ninik, di tetap membesarkan anak-anaknya sampai memiliki cucu (13 orang dan 23 cicit) yang kini menyebar di Medan, Kisaran, Jogja, Jakarta, Batam, Qatar, Padang, Singapore, Samarinda, dan Bandung.

Dibuat di Medan
16 Februari 2011
Oleh : Efrizal Adil Lubis, MA.